Rabu, 28 Mei 2014

PERAJIN DAN KARYA SENI KRIYA YANG TERSISIHKAN

“Perajin” Terpinggirkan di Lingkungan “Seniman”
Dalam sejumlah buku susunan ahli teori seni rupa barat, seni rupa dikelompokkan kedalam dua rumpun besar: major arts (seni utama) dan minor arts (seni remeh). Ppola pikir major-minor ini sekaligus juga membedakan pelaku seni terkait. Para pelaku seni utama yang biasanya menyebut karyanya sebagai “fine arts” tidak mau dipersamakan dengan para pelaku seni remeh yang menggarap applied arts. Hal itu sejalan dengan munculnya perkembangan spesialisasi dan individualisme di Barat.
Menurut pemaparan Tabrani:
“spesialisasi seni di Barat juga memisahkan ekspresi dengan kegunaan. Yang top adalah ‘seni murni’ yang dibuat semata untuk ekspresi hingga mampu melepaskan diri dari keharusan berkarya untuk dijual atau kegunaan. ‘Art for art’ dan terpisahkan ‘pure art’ dari ‘desain’ yang baru belakangan diakui kembali sebagai seni. Dengan demikian terjadilah ‘diskrimina-si’ karena yang mampu berseni hanyalah mereka yang termasuk golongan kaya, yang tak perlu memikirkan ‘asap dapur’. Tak heran bila hanya Negara maju/besar/kaya yang maju seni murninya, sedangkan Negara miskin disebut ‘terbelakang’ pula seni murninya …. “
Banyak juga buku teori seni rupa Barat yang membahas seni rupa tanpa membedakan “major art-minor art; pure art-applied art; atau seni murni-seni terap”. Anehnya, buku-buku dengan dasar bahasan tidak terkotak-kotak itu, kurangmendapat tempat dalam bahasan para pemerhati seni rupa Indonesia. Buku berpola bahasan “utama-remeh” lebih kuat pengaruhnya para pelaku seni kota. Mereka mengikuti apa yang berkembang di Barat, meniru dan menerapkannya dalam pola berpikir keseharian mereka.
Buku yang berisi bahasan yang sungguh-sungguh tentang “ seni yang dianggap remeh”, lebih banyak menggunakan pendekatan antropologis dan sosiologis. Dalam pendekatan antropologis maupun sosiologis, karya seni rupa secara keseluruhan dipandang sebagai hasil kegiatan manusia yang sama pentingnya. Tidak ada karya seni rupa yang dianggap lebih oenting daripada yang lain. Semua ragam karya seni rupa menempati posisi yang sama: sebagai sebuah hasil aktivitas manusia sesuai dengan keadaan lingkungannya. Sebagai contoh, buku Word Cultures and Modern Art yang diterbitkan sebagai catalog melengkapi pameran seni rupa dalam The XXth Olympiad Munchen 1972. Dalam buku tersebut dibahas tidak kurang dari 2.400-an bentuk karya seni rupa “utam dan remeh”
Tercatat dalam sejarah seni rupa, sejak masa Revolusi Industri, ketika pekerjaan-pekerjaan keseikryaan telah merambah dunia fabrikasi, pelaku seni rupa, secara teori, semakin kuat dipilih dalam kotak seni murni (pure art) dan seni terapan (apllied art). Pelaku seni murni yang menggarap dirinya sebagai artist (“seniman”) merasa berbeda dengan pelaku seni terap, yang biasa disebut artisan, craftsman, atau perajin”. Yang mengaku dirinya sebagai seniman terdiri atas para akademisi orang-orang kota, dan penguasa teori seni rupa. Oleh karena itu, merekalah yang kemudian secara teori memilih-milih pelaku seni rupa ke dalam kelompok seniman-bukan seniman. Sejalan dengan kondisi tersebut, sentuhan dunia industry yang telah melibatkan banyak orang kota sebagai penggarap seni kriya, muncul istilah baru yang juga eksklusif, yang kemudian mengemuka dalam wacana masalah senu rupa, yaitu design ( desain). Para kriyawan yang terdiri atas orang kota, para pelaku seni terap yang telah memanfaatkan masinalisasi alat kerja, mereka perlu berbeda posisi dengan kriyawan desa. Mereka menyebut dirinya sebagai kelompok designer.
Peneybutan-penyebutan yang berbeda tersebut akhirnya menumbuhkan kondisi calut-marutnya pengelompokan karya seni rupa. Garapan seni rupa memang terus berkembang. Satu bidang kegiatan seni rupa telah melahirkan anak-bidang yang  beragam. Bahkan , ketika semangat ingin berbeda dengan seniman lain mendesak para seniman modern, mereka melakukan upaya perubahan, pemuliha, bahkan penggabungan bentuk karya. Sehingga, ketika para teoritisi ingin mengelompokkan karya seni rupa secara sistematis, secara urut, secara kategoris, hal itu menjadi sulit dilakukan. Sebagai contoh, ada bentuk kegiatan seni kriya yang digarap menggunakan pendekatan seni murni; kegiatan melukis yang meminjam teknis membatik; atau juga penggubahan seni instalasi yang menggabungkan aneka jenis kegiatan seni rupa dan dilengkapi dengan pertunjukan. Tampaknya, istilah seni murni-terap semakin menampakkan kerapuhannya. Sewaktu-waktu, sangat mungkin, semua jenis kegiatan seni rupa akan berada pada suatu posisi yang dianggap sejajar, sebagaimana dalam kondisi kesejajaran yang pernah berjalan pada masa lalu.
Fenomena Seni Kriya
Penghargaan terhadap nilai tradisi kadang-kadang terkalahkan oleh keinginan mengejar nilai-nilai baru. Nilai baru tersebut adalah sesuatu yang dianggap modern hasil comotan dari sekumpulan nilai milik bangsa lain. Budaya comotan itu kadang-kadang memiliki nilai yang lebih baik daripada budaya tradisi milik sendiri.
Mengembangkan seni tradisi Indonesia hanya mungkin hanya mungkin berlaku di tempat-tempat lingkungannya bisa menunjang dana pembinaan. Pariwisata telah menjadi satu dengan kesenian. Banyak kampong seni di Bali, hanya sedikit saja yang menghasilkan seni trdisi asli Bali. Para seniman, kini, lebih tekun menggarap seni pesanan berupa olahan rupa patung, asesoris, dan kain gaya Maxico, Japan, Hawaii dan citra asing lainnya.
Pola hidup masyarakat yang berada di lokasi tujuan wisata kawasan Provinsi Bali, misalnya di sekitar Ubud, Gianyar, tampakmya mulai banyak berubah. Para petani yangmenggarap sebagai pekriya mulai lebih mengenal hubungan dagang Internasional, lewat jaringan telfon dan fasikmili. Seperti pernah dilaporkan secara khusus dalam harian Kompas (Minggu, 2 November 1997): “Perajin Bali ‘Naik Pangkat’ Jadi Eksportir”.
Memproduksi benda kriya, bagi sebagian warga  Ubud sebagai contoh, lebih menjanjikan banyak keuntungan materi disbanding menanam padi atau sayuran. Untung yang didapat secara musiman dari hasil sawah dan kebun kurang begitu berarti jika dibandingkan dengan untung hasil mengolah benda-benda cinderamata. Masyarakat kriyawan Bali, pemroduk benda-benda “seni remeh” ini, masih menempati posisi peringkat dua, tiga, bahkan ke empat dalam menikmati jumlah keuntungan. Kelompok pertama adalah para penjual langsung di mancanegara, yaitu para wisatawan asing yang memiliki modal. Para “bule” itu memesan bentuk-bentuk benda tertentu kepada kriyawan Ubud, kemudian hasilnya mereka bawa ke Negara mereka. Sekalipun demikian, para pekriya Bali telah menempati posisi yang lebih baik diantara masyarakat Bali yang lainnya.
Data hasil ekspor benda “kriya” pada tahun 2001 (catatan per Juni 2001 dalam Jajang dan Widnyana:2001) adalah 43,88% atau 13.919.767,12 dolar AS. Jumlah itu telah melebihi jumlah ekspor komoditas lainnya (komoditas industry misalnya, yang terdiri atas tekstil, sepatu, tas, dan komponen rumah jadi: 39,51% atau 12.533.857,41 dolar AS, yang pada dasarnya adalah hasil seni kriya juga). Jika dijumlah (dalam pendekatan kajian seni rupa), jumlah hasil ekspor benda seni rupa tersebut (83,58% total nilai ekspor) adalah 26.514.262,98 dolar AS. Selanjutnya dalam laporan Sinar Harapan (Rabu, 30 Januari 2002), catatan ekspor benda kriya Bali secara lengkap pada tahun 2001 adalah US$ 162,4 juta. Nilai itu menunjukkan penurunan 3,43% jika dibandingkan dengan nilai ekspor tahun 2000.
Hasil penelitian Jajang dan Widnyana (2001) menunjukkan bahwa para pelaku kegiatan seni kriya, maupun yang terlibat dalam aneka kegiatan pasar seni kriya di Gianyar, adalah masyarakat dinamis, tidak pernah menganggur. Oleh karena itu melalui pembuktian yang lebih lengkap tentang keberadaan pelaku kegiatan seni kriya dan segala bidang yang terkait dengannya perlu dikedepankan, sebagai bahan pertimbangan perubahan sikap Pemerintah maupun lembaga terkait. Terutama dalam nenyikapi secara bijak peranan seni dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi Negara.
Ketika heboh boom harda lukisan tahun 1989/1990, begitu banyak pelukis, keluarga pelukis, kolektor lukisan menjadi orang kaya baru (OKB). Beberapa seniman diantaranya, sampai kini, lukisannya memiliki harga jual yang sangat menghebohkan. Karya mereka diantri oleh para peminatnya. Tetapi, berbeda dengab para pekriya yang nilai penjualan karyanya mendongkrak tingkat PDRB (Product Domestic Regional Bruto), nilai penjualan karya para seniman lukis yang mengalami boom tidak pernah disebut-sebut, bahkan sengaja ditutupi dari pengetahuan khalayak.
Tentang kehebohan boom seni lukis, ditulis oleh wartawan Jakarta-Jakarta seperti berikut:
“Dunia seni lukis Indonesia makin kisruh. Bayangkan, harga lukisan seorang pelukis muda seperti Dede Eri Supria saja, kini laku 15 juta. Dan harga karya pelukis caliber Affandi , dalam tempo setahun ini, sudah melejit menjadi 150 juta. Para pelukis pemula pun kini sudah tak rikuh-rikuh memasang tarif luar biasa aduhai. Tapi dari apa yang terjadi, ternyata peran galeri dan kolektor dalam mematok harga sangat dominan. Senang tak senang, para pelukis Indonesia pun sudah naik tarif hidupnya jika dilihat per-harga karyanya” (Jakarta-Jakarta, 1989:9).
Salah satu akibat boom adalah pemalsuan lukisan. Begitu tergiurnya orang untuk memiliki karya seseorang, atau lebih tepatnya, tergiur oleh harga karya milik seorang pelukis, salah satu cara “termudah” untuk mendapatkannya adalah dengan jalan mengcopy karya yang diinginkan. Banyak lukisan palsu yang beredar diantara para kolektor. Tentu saja, pelukis yang mengetahui karyanya karyamya dipalsu orang lain, reaksinya bermacam-macam. Affandi, ketika mengetahui banyak lukisannya yang ditiru, hanya sekedar berkomentar: “Kasihan kolektornya menyimpan lukisan yang tak asli”. Tetapi ada juga yang mencak-mencak hingga berusaha memperkarakannya. Namun karena perangkat hukum di Indonesia belum menunjang kebutuhan tuntutan perkara seperti itu, pemalsuan terus saja berlanjut tanpa takut tersangkut hokum.
Di samping itu, sejumlah pelukis, termasuk pelukis “kagetan: --karena berangkat dari lingkungan di luar seni lukis, diantaranya dunia sastra—banyak yang memanfaatkan kondisi boom. Boom sendiri direspon oleh masyarakat penikmat seni Indonesia tertentu sebagai kesempatan baik untuk memeiliki karya seni lukis. Tingkat kemampuan ekonomis sekelompok masyarakat Negara Indonesia telah begitu tinggi. Terbukti, dalam berita lelang di Singapura. Pembeli lukisan yang berharga lelang melangit adalah dari Indonesia. Hasil olah seni kini telah menjadi objek komoditi yang sangat menjanjikan. Tetapi, ketika karya bidang seni musik, tari, sastra, atau pertunjukan, bisa diungkan tanpa masalah, benda-benda seni rupa masih tetap “dirahasiakan” nilai penjualannya. Padahal para seniman telah menjadi teladan ekonomi yang patut ditiru.


Sumber:

Suryana jajang.----.SENI KRIYA BALI ANTARA BOOM DAN BOM.Singaraja:----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar