“Perajin”
Terpinggirkan di Lingkungan “Seniman”
Dalam
sejumlah buku susunan ahli teori seni rupa barat, seni rupa dikelompokkan
kedalam dua rumpun besar: major arts
(seni utama) dan minor arts (seni
remeh). Ppola pikir major-minor ini sekaligus juga membedakan pelaku seni
terkait. Para pelaku seni utama yang biasanya menyebut karyanya sebagai “fine
arts” tidak mau dipersamakan dengan para pelaku seni remeh yang menggarap applied arts. Hal itu sejalan dengan munculnya
perkembangan spesialisasi dan individualisme di Barat.
Menurut
pemaparan Tabrani:
“spesialisasi
seni di Barat juga memisahkan ekspresi dengan kegunaan. Yang top adalah ‘seni
murni’ yang dibuat semata untuk ekspresi hingga mampu melepaskan diri dari
keharusan berkarya untuk dijual atau kegunaan. ‘Art for art’ dan terpisahkan
‘pure art’ dari ‘desain’ yang baru belakangan diakui kembali sebagai seni.
Dengan demikian terjadilah ‘diskrimina-si’ karena yang mampu berseni hanyalah
mereka yang termasuk golongan kaya, yang tak perlu memikirkan ‘asap dapur’. Tak
heran bila hanya Negara maju/besar/kaya yang maju seni murninya, sedangkan
Negara miskin disebut ‘terbelakang’ pula seni murninya …. “
Banyak
juga buku teori seni rupa Barat yang membahas seni rupa tanpa membedakan “major
art-minor art; pure art-applied art; atau seni murni-seni terap”. Anehnya,
buku-buku dengan dasar bahasan tidak terkotak-kotak itu, kurangmendapat tempat
dalam bahasan para pemerhati seni rupa Indonesia. Buku berpola bahasan “utama-remeh”
lebih kuat pengaruhnya para pelaku seni kota. Mereka mengikuti apa yang
berkembang di Barat, meniru dan menerapkannya dalam pola berpikir keseharian
mereka.
Buku
yang berisi bahasan yang sungguh-sungguh tentang “ seni yang dianggap remeh”,
lebih banyak menggunakan pendekatan antropologis dan sosiologis. Dalam
pendekatan antropologis maupun sosiologis, karya seni rupa secara keseluruhan
dipandang sebagai hasil kegiatan manusia yang sama pentingnya. Tidak ada karya
seni rupa yang dianggap lebih oenting daripada yang lain. Semua ragam karya
seni rupa menempati posisi yang sama: sebagai sebuah hasil aktivitas manusia
sesuai dengan keadaan lingkungannya. Sebagai contoh, buku Word Cultures and Modern Art yang diterbitkan sebagai catalog
melengkapi pameran seni rupa dalam The
XXth Olympiad Munchen 1972. Dalam buku tersebut dibahas tidak kurang dari
2.400-an bentuk karya seni rupa “utam dan remeh”
Tercatat
dalam sejarah seni rupa, sejak masa Revolusi Industri, ketika
pekerjaan-pekerjaan keseikryaan telah merambah dunia fabrikasi, pelaku seni
rupa, secara teori, semakin kuat dipilih dalam kotak seni murni (pure art) dan seni terapan (apllied art). Pelaku seni murni yang
menggarap dirinya sebagai artist
(“seniman”) merasa berbeda dengan pelaku seni terap, yang biasa disebut
artisan, craftsman, atau perajin”. Yang mengaku dirinya sebagai seniman terdiri
atas para akademisi orang-orang kota, dan penguasa teori seni rupa. Oleh karena
itu, merekalah yang kemudian secara teori memilih-milih pelaku seni rupa ke
dalam kelompok seniman-bukan seniman. Sejalan dengan kondisi tersebut, sentuhan
dunia industry yang telah melibatkan banyak orang kota sebagai penggarap seni
kriya, muncul istilah baru yang juga eksklusif, yang kemudian mengemuka dalam
wacana masalah senu rupa, yaitu design
( desain). Para kriyawan yang terdiri atas orang kota, para pelaku seni terap
yang telah memanfaatkan masinalisasi alat kerja, mereka perlu berbeda posisi
dengan kriyawan desa. Mereka menyebut dirinya sebagai kelompok designer.
Peneybutan-penyebutan yang berbeda
tersebut akhirnya menumbuhkan kondisi calut-marutnya pengelompokan karya seni
rupa. Garapan seni rupa memang terus berkembang. Satu bidang kegiatan seni rupa
telah melahirkan anak-bidang yang
beragam. Bahkan , ketika semangat ingin berbeda dengan seniman lain
mendesak para seniman modern, mereka melakukan upaya perubahan, pemuliha,
bahkan penggabungan bentuk karya. Sehingga, ketika para teoritisi ingin
mengelompokkan karya seni rupa secara sistematis, secara urut, secara
kategoris, hal itu menjadi sulit dilakukan. Sebagai contoh, ada bentuk kegiatan
seni kriya yang digarap menggunakan pendekatan seni murni; kegiatan melukis
yang meminjam teknis membatik; atau juga penggubahan seni instalasi yang
menggabungkan aneka jenis kegiatan seni rupa dan dilengkapi dengan pertunjukan.
Tampaknya, istilah seni murni-terap semakin menampakkan kerapuhannya.
Sewaktu-waktu, sangat mungkin, semua jenis kegiatan seni rupa akan berada pada
suatu posisi yang dianggap sejajar, sebagaimana dalam kondisi kesejajaran yang
pernah berjalan pada masa lalu.
Fenomena Seni
Kriya
Penghargaan
terhadap nilai tradisi kadang-kadang terkalahkan oleh keinginan mengejar
nilai-nilai baru. Nilai baru tersebut adalah sesuatu yang dianggap modern hasil
comotan dari sekumpulan nilai milik bangsa lain. Budaya comotan itu
kadang-kadang memiliki nilai yang lebih baik daripada budaya tradisi milik
sendiri.
Mengembangkan
seni tradisi Indonesia hanya mungkin hanya mungkin berlaku di tempat-tempat
lingkungannya bisa menunjang dana pembinaan. Pariwisata telah menjadi satu
dengan kesenian. Banyak kampong seni di Bali, hanya sedikit saja yang
menghasilkan seni trdisi asli Bali. Para seniman, kini, lebih tekun menggarap
seni pesanan berupa olahan rupa patung, asesoris, dan kain gaya Maxico, Japan,
Hawaii dan citra asing lainnya.
Pola
hidup masyarakat yang berada di lokasi tujuan wisata kawasan Provinsi Bali,
misalnya di sekitar Ubud, Gianyar, tampakmya mulai banyak berubah. Para petani yangmenggarap
sebagai pekriya mulai lebih mengenal hubungan dagang Internasional, lewat
jaringan telfon dan fasikmili. Seperti pernah dilaporkan secara khusus dalam
harian Kompas (Minggu, 2 November
1997): “Perajin Bali ‘Naik Pangkat’ Jadi Eksportir”.
Memproduksi
benda kriya, bagi sebagian warga Ubud
sebagai contoh, lebih menjanjikan banyak keuntungan materi disbanding menanam
padi atau sayuran. Untung yang didapat secara musiman dari hasil sawah dan
kebun kurang begitu berarti jika dibandingkan dengan untung hasil mengolah
benda-benda cinderamata. Masyarakat kriyawan Bali, pemroduk benda-benda “seni
remeh” ini, masih menempati posisi peringkat dua, tiga, bahkan ke empat dalam
menikmati jumlah keuntungan. Kelompok pertama adalah para penjual langsung di
mancanegara, yaitu para wisatawan asing yang memiliki modal. Para “bule” itu
memesan bentuk-bentuk benda tertentu kepada kriyawan Ubud, kemudian hasilnya
mereka bawa ke Negara mereka. Sekalipun demikian, para pekriya Bali telah
menempati posisi yang lebih baik diantara masyarakat Bali yang lainnya.
Data
hasil ekspor benda “kriya” pada tahun 2001 (catatan per Juni 2001 dalam Jajang
dan Widnyana:2001) adalah 43,88% atau 13.919.767,12 dolar AS. Jumlah itu telah
melebihi jumlah ekspor komoditas lainnya (komoditas industry misalnya, yang
terdiri atas tekstil, sepatu, tas, dan komponen rumah jadi: 39,51% atau
12.533.857,41 dolar AS, yang pada dasarnya adalah hasil seni kriya juga). Jika
dijumlah (dalam pendekatan kajian seni rupa), jumlah hasil ekspor benda seni
rupa tersebut (83,58% total nilai ekspor) adalah 26.514.262,98 dolar AS.
Selanjutnya dalam laporan Sinar Harapan
(Rabu, 30 Januari 2002), catatan ekspor benda kriya Bali secara lengkap pada
tahun 2001 adalah US$ 162,4 juta. Nilai itu menunjukkan penurunan 3,43% jika
dibandingkan dengan nilai ekspor tahun 2000.
Hasil
penelitian Jajang dan Widnyana (2001) menunjukkan bahwa para pelaku kegiatan
seni kriya, maupun yang terlibat dalam aneka kegiatan pasar seni kriya di
Gianyar, adalah masyarakat dinamis, tidak pernah menganggur. Oleh karena itu
melalui pembuktian yang lebih lengkap tentang keberadaan pelaku kegiatan seni
kriya dan segala bidang yang terkait dengannya perlu dikedepankan, sebagai
bahan pertimbangan perubahan sikap Pemerintah maupun lembaga terkait. Terutama
dalam nenyikapi secara bijak peranan seni dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan ekonomi Negara.
Ketika heboh boom harda lukisan tahun 1989/1990,
begitu banyak pelukis, keluarga pelukis, kolektor lukisan menjadi orang kaya
baru (OKB). Beberapa seniman diantaranya, sampai kini, lukisannya memiliki
harga jual yang sangat menghebohkan. Karya mereka diantri oleh para peminatnya.
Tetapi, berbeda dengab para pekriya yang nilai penjualan karyanya mendongkrak
tingkat PDRB (Product Domestic Regional
Bruto), nilai penjualan karya para seniman lukis yang mengalami boom tidak pernah disebut-sebut, bahkan
sengaja ditutupi dari pengetahuan khalayak.
Tentang
kehebohan boom seni lukis, ditulis
oleh wartawan Jakarta-Jakarta seperti
berikut:
“Dunia seni
lukis Indonesia makin kisruh. Bayangkan, harga lukisan seorang pelukis muda
seperti Dede Eri Supria saja, kini laku 15 juta. Dan harga karya pelukis
caliber Affandi , dalam tempo setahun ini, sudah melejit menjadi 150 juta. Para
pelukis pemula pun kini sudah tak rikuh-rikuh memasang tarif luar biasa aduhai.
Tapi dari apa yang terjadi, ternyata peran galeri dan kolektor dalam mematok
harga sangat dominan. Senang tak senang, para pelukis Indonesia pun sudah naik
tarif hidupnya jika dilihat per-harga karyanya” (Jakarta-Jakarta, 1989:9).
Salah
satu akibat boom adalah pemalsuan
lukisan. Begitu tergiurnya orang untuk memiliki karya seseorang, atau lebih
tepatnya, tergiur oleh harga karya milik seorang pelukis, salah satu cara
“termudah” untuk mendapatkannya adalah dengan jalan mengcopy karya yang diinginkan. Banyak lukisan palsu yang beredar
diantara para kolektor. Tentu saja, pelukis yang mengetahui karyanya karyamya
dipalsu orang lain, reaksinya bermacam-macam. Affandi, ketika mengetahui banyak
lukisannya yang ditiru, hanya sekedar berkomentar: “Kasihan kolektornya
menyimpan lukisan yang tak asli”. Tetapi ada juga yang mencak-mencak hingga
berusaha memperkarakannya. Namun karena perangkat hukum di Indonesia belum
menunjang kebutuhan tuntutan perkara seperti itu, pemalsuan terus saja
berlanjut tanpa takut tersangkut hokum.
Di
samping itu, sejumlah pelukis, termasuk pelukis “kagetan: --karena berangkat
dari lingkungan di luar seni lukis, diantaranya dunia sastra—banyak yang
memanfaatkan kondisi boom. Boom sendiri direspon oleh masyarakat
penikmat seni Indonesia tertentu sebagai kesempatan baik untuk memeiliki karya
seni lukis. Tingkat kemampuan ekonomis sekelompok masyarakat Negara Indonesia
telah begitu tinggi. Terbukti, dalam berita lelang di Singapura. Pembeli
lukisan yang berharga lelang melangit adalah dari Indonesia. Hasil olah seni
kini telah menjadi objek komoditi yang sangat menjanjikan. Tetapi, ketika karya
bidang seni musik, tari, sastra, atau pertunjukan, bisa diungkan tanpa masalah,
benda-benda seni rupa masih tetap “dirahasiakan” nilai penjualannya. Padahal
para seniman telah menjadi teladan ekonomi yang patut ditiru.
Sumber:
Suryana
jajang.----.SENI KRIYA BALI ANTARA BOOM DAN BOM.Singaraja:----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar