Rabu, 28 Mei 2014

KONDISI KESENIAN DI INDONESIA

Seni Tradisional
Seni tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum/ puak/ suku/ bangsa tertentu. Seni tradisional yang ada di suatu daerah berbeda dengan yang ada di daerah lain, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya seni tradisional yang mirip antara dua daerah yang berdekatan. Seni tradisional dibuat utamanya untuk kegunaan, lebih dari estetika. Seni tradisional biasanya hanya mengacu pada suatu kebudayaan tertentu dan berbeda antara satu dengan yang lain, walaupun terkadang bisa sama karena pengaruh kebudayaan.
Seni Modern
Seni modern adalah seni yang tidak terbatas pada kebudayaan suatu adat atau daerah, namun tetap berdasarkan sebuah filosofi dan aliran-aliran seni. Hasil karya ini lahir bukan karena didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling pokok, melainkan oleh kebutuhan spiritualnya, untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiaannya. Pada seni modern ini mulai bermunculan aliran-aliran di dalamnya.
Seni Kontemporer
Karya seni kontemporer adalah karya seni masa kini. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi, seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang.
Lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikansituasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance. Begitu pula dengan tarian, lebih kreatif dan modern. Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”.
Ini sebagai pengembangan dari wacana pascamodern (postmodern art) dan pascakolonialisme yang berusaha membangkitkan wacana pemunculan indigenous art (seni pribumi). Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para seniman. Dalam pengertian lain, menurut kamus umum bahasa Indonesia susunan J.S Badududan Muhammad Zaid, terdapat tiga leksikal tentang kata kontemporer, yaitu pertama “semasa atau sezaman”, kedua “bersamaan waktu”, dan yang ketiga adalah “masa kini atau dewasa ini”.
Untuk menjelaskan lebih jauh, Badudu memberikan satu contoh kalimat, yakni “seni kontemporer tidak dapat bertahan lama” (Badudu Zain : 1994 : 714). Dengan contoh ini Badudu ingin menegaskan bahwa seni kontemporer adalah seni yang bertahan sezaman saja. Dengan demikian, kata masa kini juga berarti sezaman, masa saat sekarang.
            Banyak cabang-cabang seni yang terdapat di Indonesia akibat dari perkembangan zaman. Seni-seni itu barkembang pesat di Indonesia, bahkan sudah banyak para seniman-seniman bermunculan dari masing-masing bidang seni tersebut. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Ø  Seni Rupa
Seni Rupa adalah sebuah konsep atau nama untuk salah satu cabang seni yang bentuknya terdiri atas unsur-unsur rupa yaitu: garis, bidang, bentuk, tekstur, ruang dan warna. Unsur-unsur rupa tersebut tersusun menjadi satu dalam sebuah pola tertentu. Bentuk karya seni rupa merupakan keseluruhan unsur-unsur rupa yang tersusun dalam sebuah struktur atau komposisi yang bermakna.
Ø  Seni Musik
Seni musik merupakan cabang seni yang menggunakan media bunyi sebagai sarana pengungkapan ekspresi senimannya. Kata musik dalam Bahasa Indonesia adalah terjemahan dari Bahasa Inggris music atau Bahasa Belanda muziek. Menurut para ahli sejarah, kata musik berasal dari sekumpulan nama dewi kesenian bangsa Yunani Purba, yaitu musae. Dalam sebuah ciptaan musik, nada menempati posisi terkecil.
Ø  Seni Tari
Seni tari adalah gerakan terangkai yang berirama sebagai ungkapan jiwa atau ekspresi manusia yang di dalamnya terdapat unsur keindahan wiraga atau tubuh, wirama atau irama, wirasa atau penghayatan, dan wirupa atau wujud. Tari adalah gerak dari seluruh anggota badan yang selaras dengan bunyi musik atau gamelan, diatur oleh irama yang sesuai dengan maksud dan tujuan dalam menari.
Ø  Seni Sastra
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.
Ø  Seni Pertunjukan
Dalam bahasa Inggris, seni pertunjukan dikenal dengan istilah perfomance art. Seni pertunjukan merupakan bentuk seni yang cukup kompleks karena merupakan gabungan antara berbagai bidang seni. Jika kamu perhatikan, sebuah pertunjukan kesenian seperti teater atau sendratari biasanya terdiri atas seni musik, dialog, kostum, panggung, pencahayaan, dan seni rias. Seni pertunjukan sangat menonjolkan manusia sebagai aktor atau aktrisnya.
Sekarang banyak yang menggunakan hasil karya-karya orang lain untuk ditunjukkan atau di bumingkan kembali atau diperkenalkan kembali agar masyarakat lebih mengenal karya-karya yang masih tersembunyi. Hal ini bias disebut “daur ulang” karya.
Hal-hal yang semacam ini banyak dilakukan oleh para seniman-seniman musik, tari, sastra dan pertunjukan. Di mana mereka sering berkolaborasi antara seniman yang satu dengan seniman yang lain untuk menghasilkan sebuah karya yang sangat bagus dan indah. Di dalam kolaborasi tersebut para seniman ini tidak sedikit dari mereka yang menggunakan karya orang lain untuk menghasilkan sebuah karya yang bagus. Tetapi tidak sedikit juga dari mereka yang menggunakan karya mereka sendiri.
Lain halnya dalam bidang seni rupa. Hal-hal yang seperti ini (kolaborasi/ menggunakan karya orang lain) dilarang dalam bidang seni rupa. Karena dalam bidang seni rupa berkarya atau berkesenian itu harus dengan hasil mereka sendiri. Apabila hal ini dilakukan maka seniman tersebut akan direndahkan dimata teman-teman seniman lainnya dan seniman tersebut diberi cap “plagiator”. Plagiator adalah cap yang begitu rendah karena menggunakan milik orang lain tanpa seizin pemilik aslinya. Lain halnya dengan mengantongi izin, hal ini boleh dilakukan sebatas sesuai dengan perjanjian antar kedua belah pihak.
Tetapi berbeda dengan di Cina. Kalau di Cina dikenal dengan sebutan “Copy The Master”. Tetapi di Indonesia “Copy The Master” sama dengan mengcopy karya orang lain atau Plagiator.
Di Indonesia banyak perbedaan-perbedaan yang terjadi diantara seni-seni yang berkembang. Sebagai contoh dalam produksi film. Di dalam film ini merupakan kerja kelompok atau satu tim, namun yang terkenal atau yang paling menonjol dari produksi film tersebut bisa dari semua tim ataupun perorangan. Seperti sutradara saja yang terkenal atau aktornya saja terkenal. Namun berbeda di dalam bidang seni rupa, contohnya patung. Dalam pembuatan patung yang besar pasti tidak bekerja sendirian, melainkan kerja tim. Di dalam tim itu terdapat otak atau ketua dari tim tersebut. Kalau di film kemungkinan semua bisa terkenal namun kalau di seni rupa hanya yang memiliki otak (penggagas atau yang mempunyai konsep/ ide) yang terkenal. Sedangkan yang lainnya hanya sebagai pelengkap. Beninilah kondisi kesenian di Indonesia.


Sumber:

PERAJIN DAN KARYA SENI KRIYA YANG TERSISIHKAN

“Perajin” Terpinggirkan di Lingkungan “Seniman”
Dalam sejumlah buku susunan ahli teori seni rupa barat, seni rupa dikelompokkan kedalam dua rumpun besar: major arts (seni utama) dan minor arts (seni remeh). Ppola pikir major-minor ini sekaligus juga membedakan pelaku seni terkait. Para pelaku seni utama yang biasanya menyebut karyanya sebagai “fine arts” tidak mau dipersamakan dengan para pelaku seni remeh yang menggarap applied arts. Hal itu sejalan dengan munculnya perkembangan spesialisasi dan individualisme di Barat.
Menurut pemaparan Tabrani:
“spesialisasi seni di Barat juga memisahkan ekspresi dengan kegunaan. Yang top adalah ‘seni murni’ yang dibuat semata untuk ekspresi hingga mampu melepaskan diri dari keharusan berkarya untuk dijual atau kegunaan. ‘Art for art’ dan terpisahkan ‘pure art’ dari ‘desain’ yang baru belakangan diakui kembali sebagai seni. Dengan demikian terjadilah ‘diskrimina-si’ karena yang mampu berseni hanyalah mereka yang termasuk golongan kaya, yang tak perlu memikirkan ‘asap dapur’. Tak heran bila hanya Negara maju/besar/kaya yang maju seni murninya, sedangkan Negara miskin disebut ‘terbelakang’ pula seni murninya …. “
Banyak juga buku teori seni rupa Barat yang membahas seni rupa tanpa membedakan “major art-minor art; pure art-applied art; atau seni murni-seni terap”. Anehnya, buku-buku dengan dasar bahasan tidak terkotak-kotak itu, kurangmendapat tempat dalam bahasan para pemerhati seni rupa Indonesia. Buku berpola bahasan “utama-remeh” lebih kuat pengaruhnya para pelaku seni kota. Mereka mengikuti apa yang berkembang di Barat, meniru dan menerapkannya dalam pola berpikir keseharian mereka.
Buku yang berisi bahasan yang sungguh-sungguh tentang “ seni yang dianggap remeh”, lebih banyak menggunakan pendekatan antropologis dan sosiologis. Dalam pendekatan antropologis maupun sosiologis, karya seni rupa secara keseluruhan dipandang sebagai hasil kegiatan manusia yang sama pentingnya. Tidak ada karya seni rupa yang dianggap lebih oenting daripada yang lain. Semua ragam karya seni rupa menempati posisi yang sama: sebagai sebuah hasil aktivitas manusia sesuai dengan keadaan lingkungannya. Sebagai contoh, buku Word Cultures and Modern Art yang diterbitkan sebagai catalog melengkapi pameran seni rupa dalam The XXth Olympiad Munchen 1972. Dalam buku tersebut dibahas tidak kurang dari 2.400-an bentuk karya seni rupa “utam dan remeh”
Tercatat dalam sejarah seni rupa, sejak masa Revolusi Industri, ketika pekerjaan-pekerjaan keseikryaan telah merambah dunia fabrikasi, pelaku seni rupa, secara teori, semakin kuat dipilih dalam kotak seni murni (pure art) dan seni terapan (apllied art). Pelaku seni murni yang menggarap dirinya sebagai artist (“seniman”) merasa berbeda dengan pelaku seni terap, yang biasa disebut artisan, craftsman, atau perajin”. Yang mengaku dirinya sebagai seniman terdiri atas para akademisi orang-orang kota, dan penguasa teori seni rupa. Oleh karena itu, merekalah yang kemudian secara teori memilih-milih pelaku seni rupa ke dalam kelompok seniman-bukan seniman. Sejalan dengan kondisi tersebut, sentuhan dunia industry yang telah melibatkan banyak orang kota sebagai penggarap seni kriya, muncul istilah baru yang juga eksklusif, yang kemudian mengemuka dalam wacana masalah senu rupa, yaitu design ( desain). Para kriyawan yang terdiri atas orang kota, para pelaku seni terap yang telah memanfaatkan masinalisasi alat kerja, mereka perlu berbeda posisi dengan kriyawan desa. Mereka menyebut dirinya sebagai kelompok designer.
Peneybutan-penyebutan yang berbeda tersebut akhirnya menumbuhkan kondisi calut-marutnya pengelompokan karya seni rupa. Garapan seni rupa memang terus berkembang. Satu bidang kegiatan seni rupa telah melahirkan anak-bidang yang  beragam. Bahkan , ketika semangat ingin berbeda dengan seniman lain mendesak para seniman modern, mereka melakukan upaya perubahan, pemuliha, bahkan penggabungan bentuk karya. Sehingga, ketika para teoritisi ingin mengelompokkan karya seni rupa secara sistematis, secara urut, secara kategoris, hal itu menjadi sulit dilakukan. Sebagai contoh, ada bentuk kegiatan seni kriya yang digarap menggunakan pendekatan seni murni; kegiatan melukis yang meminjam teknis membatik; atau juga penggubahan seni instalasi yang menggabungkan aneka jenis kegiatan seni rupa dan dilengkapi dengan pertunjukan. Tampaknya, istilah seni murni-terap semakin menampakkan kerapuhannya. Sewaktu-waktu, sangat mungkin, semua jenis kegiatan seni rupa akan berada pada suatu posisi yang dianggap sejajar, sebagaimana dalam kondisi kesejajaran yang pernah berjalan pada masa lalu.
Fenomena Seni Kriya
Penghargaan terhadap nilai tradisi kadang-kadang terkalahkan oleh keinginan mengejar nilai-nilai baru. Nilai baru tersebut adalah sesuatu yang dianggap modern hasil comotan dari sekumpulan nilai milik bangsa lain. Budaya comotan itu kadang-kadang memiliki nilai yang lebih baik daripada budaya tradisi milik sendiri.
Mengembangkan seni tradisi Indonesia hanya mungkin hanya mungkin berlaku di tempat-tempat lingkungannya bisa menunjang dana pembinaan. Pariwisata telah menjadi satu dengan kesenian. Banyak kampong seni di Bali, hanya sedikit saja yang menghasilkan seni trdisi asli Bali. Para seniman, kini, lebih tekun menggarap seni pesanan berupa olahan rupa patung, asesoris, dan kain gaya Maxico, Japan, Hawaii dan citra asing lainnya.
Pola hidup masyarakat yang berada di lokasi tujuan wisata kawasan Provinsi Bali, misalnya di sekitar Ubud, Gianyar, tampakmya mulai banyak berubah. Para petani yangmenggarap sebagai pekriya mulai lebih mengenal hubungan dagang Internasional, lewat jaringan telfon dan fasikmili. Seperti pernah dilaporkan secara khusus dalam harian Kompas (Minggu, 2 November 1997): “Perajin Bali ‘Naik Pangkat’ Jadi Eksportir”.
Memproduksi benda kriya, bagi sebagian warga  Ubud sebagai contoh, lebih menjanjikan banyak keuntungan materi disbanding menanam padi atau sayuran. Untung yang didapat secara musiman dari hasil sawah dan kebun kurang begitu berarti jika dibandingkan dengan untung hasil mengolah benda-benda cinderamata. Masyarakat kriyawan Bali, pemroduk benda-benda “seni remeh” ini, masih menempati posisi peringkat dua, tiga, bahkan ke empat dalam menikmati jumlah keuntungan. Kelompok pertama adalah para penjual langsung di mancanegara, yaitu para wisatawan asing yang memiliki modal. Para “bule” itu memesan bentuk-bentuk benda tertentu kepada kriyawan Ubud, kemudian hasilnya mereka bawa ke Negara mereka. Sekalipun demikian, para pekriya Bali telah menempati posisi yang lebih baik diantara masyarakat Bali yang lainnya.
Data hasil ekspor benda “kriya” pada tahun 2001 (catatan per Juni 2001 dalam Jajang dan Widnyana:2001) adalah 43,88% atau 13.919.767,12 dolar AS. Jumlah itu telah melebihi jumlah ekspor komoditas lainnya (komoditas industry misalnya, yang terdiri atas tekstil, sepatu, tas, dan komponen rumah jadi: 39,51% atau 12.533.857,41 dolar AS, yang pada dasarnya adalah hasil seni kriya juga). Jika dijumlah (dalam pendekatan kajian seni rupa), jumlah hasil ekspor benda seni rupa tersebut (83,58% total nilai ekspor) adalah 26.514.262,98 dolar AS. Selanjutnya dalam laporan Sinar Harapan (Rabu, 30 Januari 2002), catatan ekspor benda kriya Bali secara lengkap pada tahun 2001 adalah US$ 162,4 juta. Nilai itu menunjukkan penurunan 3,43% jika dibandingkan dengan nilai ekspor tahun 2000.
Hasil penelitian Jajang dan Widnyana (2001) menunjukkan bahwa para pelaku kegiatan seni kriya, maupun yang terlibat dalam aneka kegiatan pasar seni kriya di Gianyar, adalah masyarakat dinamis, tidak pernah menganggur. Oleh karena itu melalui pembuktian yang lebih lengkap tentang keberadaan pelaku kegiatan seni kriya dan segala bidang yang terkait dengannya perlu dikedepankan, sebagai bahan pertimbangan perubahan sikap Pemerintah maupun lembaga terkait. Terutama dalam nenyikapi secara bijak peranan seni dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi Negara.
Ketika heboh boom harda lukisan tahun 1989/1990, begitu banyak pelukis, keluarga pelukis, kolektor lukisan menjadi orang kaya baru (OKB). Beberapa seniman diantaranya, sampai kini, lukisannya memiliki harga jual yang sangat menghebohkan. Karya mereka diantri oleh para peminatnya. Tetapi, berbeda dengab para pekriya yang nilai penjualan karyanya mendongkrak tingkat PDRB (Product Domestic Regional Bruto), nilai penjualan karya para seniman lukis yang mengalami boom tidak pernah disebut-sebut, bahkan sengaja ditutupi dari pengetahuan khalayak.
Tentang kehebohan boom seni lukis, ditulis oleh wartawan Jakarta-Jakarta seperti berikut:
“Dunia seni lukis Indonesia makin kisruh. Bayangkan, harga lukisan seorang pelukis muda seperti Dede Eri Supria saja, kini laku 15 juta. Dan harga karya pelukis caliber Affandi , dalam tempo setahun ini, sudah melejit menjadi 150 juta. Para pelukis pemula pun kini sudah tak rikuh-rikuh memasang tarif luar biasa aduhai. Tapi dari apa yang terjadi, ternyata peran galeri dan kolektor dalam mematok harga sangat dominan. Senang tak senang, para pelukis Indonesia pun sudah naik tarif hidupnya jika dilihat per-harga karyanya” (Jakarta-Jakarta, 1989:9).
Salah satu akibat boom adalah pemalsuan lukisan. Begitu tergiurnya orang untuk memiliki karya seseorang, atau lebih tepatnya, tergiur oleh harga karya milik seorang pelukis, salah satu cara “termudah” untuk mendapatkannya adalah dengan jalan mengcopy karya yang diinginkan. Banyak lukisan palsu yang beredar diantara para kolektor. Tentu saja, pelukis yang mengetahui karyanya karyamya dipalsu orang lain, reaksinya bermacam-macam. Affandi, ketika mengetahui banyak lukisannya yang ditiru, hanya sekedar berkomentar: “Kasihan kolektornya menyimpan lukisan yang tak asli”. Tetapi ada juga yang mencak-mencak hingga berusaha memperkarakannya. Namun karena perangkat hukum di Indonesia belum menunjang kebutuhan tuntutan perkara seperti itu, pemalsuan terus saja berlanjut tanpa takut tersangkut hokum.
Di samping itu, sejumlah pelukis, termasuk pelukis “kagetan: --karena berangkat dari lingkungan di luar seni lukis, diantaranya dunia sastra—banyak yang memanfaatkan kondisi boom. Boom sendiri direspon oleh masyarakat penikmat seni Indonesia tertentu sebagai kesempatan baik untuk memeiliki karya seni lukis. Tingkat kemampuan ekonomis sekelompok masyarakat Negara Indonesia telah begitu tinggi. Terbukti, dalam berita lelang di Singapura. Pembeli lukisan yang berharga lelang melangit adalah dari Indonesia. Hasil olah seni kini telah menjadi objek komoditi yang sangat menjanjikan. Tetapi, ketika karya bidang seni musik, tari, sastra, atau pertunjukan, bisa diungkan tanpa masalah, benda-benda seni rupa masih tetap “dirahasiakan” nilai penjualannya. Padahal para seniman telah menjadi teladan ekonomi yang patut ditiru.


Sumber:

Suryana jajang.----.SENI KRIYA BALI ANTARA BOOM DAN BOM.Singaraja:----

Selasa, 27 Mei 2014

PERBEDAAN SENI RUPA MURNI (FINE ART) DENGAN SENI RUPA TERAPAN (APPLIED ART)

Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika.
Selain itu seni rupa juga mempunyai fungsi atau manfaat. Fungsi karya seni rupa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi estetis dan fungsi praktis. Fungsi estetis adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tentang rasa keindahan. Fungsi praktis adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia akan benda pakai.
Seni rupa dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu seni rupa murni atau seni murni dan terapan (kriya dan desain). Seni rupa murni mengacu kepada karya-karya yang hanya untuk tujuan pemuasan eksresi pribadi, sementara terapan (kriya dan desain) lebih menitik beratkan pada fungsi dan kemudahan produksi.
Secara kasar terjemahan seni rupa di dalam Bahasa Inggris adalah Fine Art. Namun sesuai perkembangan dunia seni modern, istilah Fine Art menjadi lebih spesifik kepada pengertian seni rupa murni untuk kemudian menggabungkannya dengan desain dan kriya (terapan) ke dalam bahasan Visual Arts atau Applied Art.
1.      Seni Rupa Murni adalah seni yang tercipta bebas tanpa mempertimbangkan segi fungsi dan kegunaannya. Tetapi lebih mengutamakan fungsi keindahan. Selain itu seni rupa murni diciptakan hanya untuk pemuasan ekspresi pribadi
Contoh karya seni rupa murni, yaitu:
ü  Lukisan
http://yandiofindonesia.files.wordpress.com/2012/10/painting_children_kjb_donaldzolan_68thethinker_sm.jpg

ü  Kaligrafi
http://hadizafa.com/wp-content/uploads/kaligrafi-bismillah-9.jpg
ü  Patung
http://sewabusbali.com/tempat-wisata/gambar/patung-gwk.jpg
ü  Dll.

2.      Seni Rupa Terapan adalah hasil karya seni yang lebih mengutamakan kegunaannya atau fungsi pakainya disamping dapat dinikmati mutu seninya. Tujuan fungsional yaitu untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis (kejiwaan) manusia yang tidak hanya bisa di pandang keindahannya, namun juga dapat di pergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu seni rupa terapan memiliki fungsi guna atau pakai. Artinya selain sebagai benda yang bernilai seni (artistik) juga sebagai benda yang indah (estetis) dan dapat digunakan untuk kepentingan manusia. Bentuknya berupa benda-benda pakai atau benda guna untuk kebutuhan manusia. Seni rupa terapan bukan hanya mengutamakan keindahan saja, namun juga fungsinya, sehingga hal ini menjadi nilai plus bagi setiap karya yang dihasilkan. Seni rupa terapan mengacu kepada aplikasi desain dan estetika terhadap benda-benda yang dipergunakan manusia sehari-harinya. Seni rupa terapan menggunakan desain dan idealisme kreatif untuk menciptakan benda-benda keperluan sehari-hari.
Contoh karya seni rupa terapan, yaitu:
ü  Ukiran
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdr2PIEmx-pBQv72H6Es9AQe_fvfsJOp9oO3nukpsjMhLSdtmhun9OAeLv2FJURZhHBr8_OHB51IOX61kK_GyRL5UisgiOIRfYIGGd0RwDTtTnED_ydU7LHEuS5tt4OTmocp4ywEQs_g/s1600/Untitled-3.jpg
ü  Batik atau pakaian
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizbw_50MPoJSJXHVA-gNzpuIC0vUzLJbZ-OvZgReH3WvPsDW4zUjJMJLNwg477EP8nSZd38q3a51hAmfQU_QIy6y4Ud9-khUGa99m9BEN48wPb239B0hGfklrVHYMnswm4l19j4RWVlVY/s1600/rrr.PNG
ü  Gerabah dari tanah liat
http://www.gresnews.com/images_content/201178sumut%20-%20gerabah%20%28rilisindonesia%20com%29.jpg
ü  Anyaman
http://desatalangjerinjing.files.wordpress.com/2011/11/anyamanriaupon2012.jpg
ü  Keramik
http://www.utaloeber-keramik.de/img/main.jpg
ü  Kerajinan furniture

ü  Kerajinan tangan (handycraft)
http://bahan-membuat.com/wp-content/uploads/2012/11/424.jpg


ü Dll.


Sumber:
http://hedisasrawan.blogspot.com/2013/09/pengertian-seni-rupa-terapan-artikel.html
http://sciencevarious.blogspot.com/2011/11/pengertian-seni-rupa-murni-dan-terapan.html
http://terbeselung.blogspot.com/2012/02/pengertian-seni-rupa-murni-dan-seni.html